Jumat, 03 Januari 2020

Sejarah [Kerajaan] Sriwijaya (Artikel Lengkap)

Guru Madrasah
. Kerajaan Sriwijaya, meliputi Sejarah, Kehidupan Politik, Wilayah Kekuasaan, Hubungan dengan Luar Negeri, Kehidupan Ekonomi, Kehidupan Agama, Masa Kejayaan & Keruntuhan [Kerajaan] Sriwijaya, serta Penginggalan [Kerajaan] Sriwijaya. Berikut artikel selengkapnya.

KERAJAAN SRIWIJAYA



SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA


Sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.

Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya & karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.

Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.

Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan & kepatuhan para calon pejabat. dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu & keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat [Kerajaan] Sriwijaya.

Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik & tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang & Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik & tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam & kanal. Kolam & kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik & kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.

Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, & Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, & Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.

Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina & Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.

Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali & sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan & upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan & upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 & tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.

Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir & beberapa hasil bumi lainya.

Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah & relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar & pendeta di Cina, India & Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, & diperhitungkan di kawasannya.


KEHIDUPAN POLITIK

Kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, & hubungannya dengan pihak luar negeri.

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja [Kerajaan] Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja [Kerajaan] Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:

Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).


WILAYAH KEKUASAAN

Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota  [Kerajaan] Sriwijaya dipindahakan dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, [Kerajaan] Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari & mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7 M, [Kerajaan] Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, & Laut Jawa bagian barat. Pada abad ke-8 M, perluasan [Kerajaan] Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung Malaya & Tanah Genting Kra. Pendudukan pada daerah Semenanjung Malaya memiliki tujuan untuk menguasai daerah penghasil lada & timah. Sedangkan pendudukan pada daerah Tanah Genting Kra memiliki tujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina & India. Tanah Genting Kra sering dipergunakan oleh para pedagang untuk menyeberang dari perairan Lautan Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari persinggahan di pusat [Kerajaan] Sriwijaya. Daerah lain yang menjadi kekuasaan Sriwijaya diantaranyaTulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung & daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu untuk mengembangkan usaha perdagagan dengan India. Selain itu, diketahui pula berdasar berita dari China, Sriwijaya menggusur kerajaan Kaling agar dapat mengusai pantai utara Jawa sebab adalah jalur perdagangan yang penting.

Pada akhir abad ke-8 M, [Kerajaan] Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Malaka, Selat Karimata, & Tanah Genting Kra. Dengan kekuasaan wilayah itu, [Kerajaan] Sriwijaya menjadi kerajaan laut terbesar di seluruh Asia Tenggara.

HUBUNGAN dengan LUAR NEGERI
 Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti [Kerajaan] Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk pembuatan asrama bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi ‘dharma’ yang dibiayai oleh Balaputradewa.

Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya Karena letaknya yang strategis, perkembangan perdagangan internasional di Sriwijaya sangat baik. Dengan banyaknya pedagang yang singgah di Sriwijaya memungkinkan masyarakatnya berkomunikasi dengan mereka, sehingga dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi masyarakat Sriwijaya. Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dengan para pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi & Semenanjung Malaysia.Perdagangan internasional ini juga membuat kecenderungan masyarakat menjadi terbuka akan berbagai pengaruh & budaya asing, salah satunya India. Budaya India yang masuk berupa penggunaan nama-nama khas India, adat istiadat, & juga agama Hindu-Buddha. I-tsing menerangkan bahwa banyak pendeta yang datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta & menyalin kitab kitab suci agama Buddha. Guru besar yang sangat terkenal di massa itu adalah Sakyakirti yang mengarang buku Hastadandasastra.

KEHIDUPAN EKONOMI
Pada awalnya kehidupan ekonomi masyarakat Sriwijaya bertumpu pada bidang pertanian. Namun dikarenakan letaknya yang strategis, yaitu di persimpangan jalur perdagangan internasional, membuat hasil bumi menjadi modal utama untuk memulai kegiatan perdagangan & pelayaran. Karena letak yang strategis pula, para pedagang China yang akan ke India bongkarmuat di Sriwijaya, & begitu juga dengan pedagang India yang akan ke China. Dengan demikian pelabuhan Sriwijaya semakin ramai hingga Sriwijaya menjadi pusat perdagangan se-Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, & Laut Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab & Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) & Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, & penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun & kain sutra.

KEHIDUPAN AGAMA
Kerajaan Sriwijaya Kehidupan agama masyarakat Sriwijaya dipengaruhi oleh datangnya pedagang India. Pertama adalah agama Hindu, lalu agama Buddha. Agama Buddha dikenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Nama Dharmapala & Sakyakirti pun tidak asing lagi. Dharmapala adalah seorang guru besar agama Budha dari [Kerajaan] Sriwijaya. Dia pernah mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan Sakyakirti adalah guru besar juga. Dia mengarang buku Hastadandasastra. Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang & ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula adalah bagian dari Sriwijaya, lalu tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya. 


MASA KEJAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA

Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang & naik dinasti Song perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min & negeri kaya Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi & Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.

KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA

Rajendra Coladewa pada tahun 1025 raja Chola dari Koromandel India selatan menaklukkan Kedah & merampas dari Sriwijaya. Kemudian [Kerajaan] Chola meneruskan penyerangan & berhasil penaklukan Sriwijaya selama beberapa dekade berikut keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yg ditaklukan utk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut akhir mengakibatkan melemah hegemoni Sriwijaya & kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri & kemudian muncul [Kerajaan] Dharmasraya sebagai kekuatan baru & kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya & sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.

Baca pula : 22 Nama [Kerajaan] di Indonesia & Sejarahnya

PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA


1.    Prasarti Ligor
2.    Prasasti Palas Pasemah


3.    Prasasti Leiden
4.    Prasasti Kota Kapur
5.    Prasasti Kedukan Bukit

6.    Prasasti Hujung Langit
7.    Prasasti Talang Tuo
8.    Prasasti Telaga Batu
9.    Prasasti Karang Birahi
 ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Sejarah [Kerajaan] Sriwijaya (Artikel Lengkap)


Demikian artikel lengkap tentang Kerajaan Sriwijaya, meliputi Sejarah, Kehidupan Politik, Wilayah Kekuasaan, Hubungan dengan Luar Negeri, Kehidupan Ekonomi, Kehidupan Agama, Masa Kejayaan & Keruntuhan [Kerajaan] Sriwijaya, serta Penginggalan [Kerajaan] Sriwijaya yang dapat kami bagikan. Semoga bermanfaat..