Minggu, 19 April 2020

Sejarah Kerajaan Tulang Bawang dan Kota Kapur

Guru Madrasah
Kerajaan Tulangbawang berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung sekarang. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera).  Ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.

Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Sriwijaya, nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Status sosial dalam masyarakat Pepadun tidak semata-mata ditentukan oleh garis keturunan. Setiap orang memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama orang tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun. Gelar atau status sosial yang dapat diperoleh melalui Cakak Pepadun diantaranya gelar Suttan, Raja, Pangeran, dan Dalom. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.

Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420– 479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang- yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi).

L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang (Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.

Kerajaan Kota Kapur
Penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh petunjuk tentang adanya kekuasaan sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi. 

Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur adalah benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masing-masing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. 

Benteng pertahanan dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke- 7. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.